Powered By Blogger

Jumat, 13 November 2009

HUBUNGAN FILSAFAT DAN PENDIDIKAN

HUBUNGAN FILSAFAT DAN PENDIDIKAN

February 23, 2009 by denovoidea

 

PENDAHULUAN

 

Pengetahuan dimulai dengan rasa ingin tahu, kepastian dimulai dengan rasa ragu-ragu sedangkan filsafat dimulai dengan kedua-duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah tahu dan apa yang belum tahu, berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kemestaan yang seakan tak terbatas. Demikian juga berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah diangkau.

 

Ilmu merupakan pengetahuan yang digumuli sejak sekola dasar pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi, berfilsafat tentang ilmu berarti terus terang kepada diri sendiri. Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman manusia juga disebabkan metode yang digunakan dalam menyusun yang telah teruji kebenarannya secara empiris.

 

Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Sesungguhnya isi alam yang dapat diamati hanya sebagian kecil saja, diibaratkan mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan laut saja. Semantara filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba segala sesuatu yang ada melalui pikiran dan renungan yang kritis.

 

Sedangkan pendidikan merupakan salah satu bidang ilmu, sama halnya dengan ilmu-ilmu lain. Pendidikan lahir dari induknya yaitu filsafat, sejalan dengan proses perkembangan ilmu, ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari dari induknya. Pada awalnya pendidikan berada bersama dengan filsafat, sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia.

 

PEMBAHASAN

A. PENDIDIKAN

Pendidikan adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohani kearah kedewasaan.

 Secara garis besar pengertian pendidikan dapat dibagi menjadi tiga yaitu: a). pendidikan, b). teori umum pendidikan, dan c). ilmu pendidikan.

 

Pengertian pertama, pendidikan pada umumnya yaitu mendidik yang dilakukan oleh masyarkat umum. Pendidikan seperti ini sudah ada semenjak manusia ada di muka bumi ini. Pada zaman purba, kebanyakan manusia memerlukan anak-anaknya secara insting atau naluri, suatu sifat pembawaan, demi kelangsungan hidup keturunanya. Yang termasuk insting manusia antara lain sikaf melindungi anak, rasa cinta terhadap anak, bayi menangis, kempuan menyusu air susu ibu dan merasakan kehangatan dekapan ibu.

Pekerjaan mendidik mencakup banyak hal yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan manusia. Mulai dari perkembangan fisik, kesehatan, keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial, sampai kepada perkembangan iman. Mendidik bermaksud membuat manusia menjadi lebih sempurna, membuat manusia meningkatkan hidupnya dari kehidupan alamiah menjadi berbudaya. Mendidik adalah membudayakan manusia.

Kedua, pendidikan dalam teori umum, menurut John Dewey pendidikan itu adalah The general theory of education dan Philoshophy is the general theory of education, dan dia tidak membedakan filsafat pendidikan dengan teori pendidikan, atau filsafat pendidikan sama dengan teri pendidikan. Sebab itu ia mengatakan pendidikan adalah teori umum pendidikan.

Konsep di atas bersumber dari filsafat pragmatis atau filsafat pendidikan progresif, inti filsafat pragmatis yang mana berguna bagi manusia itulah yang benar, sedangkan inti filsafat pendidikan progresif mencari terus-menerus sesuatu yang paling berguna hidup dan kehidupan manusia. 

 Ketiga, ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah cabang ilmu yang terkait satu dengan yang lain membentuk suatu kesatuan. Masing-masing cabang ilmu pendidikan dibentuk oleh sejumlah teori.

B. FILSAFAT

 Filsafat adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam tentang sesuatu sampai keakar-akarnya. Sesuatu disini dapat berarti terbatas dan dapat pula berarti tidak terbatas. Bila berarti terbatas, filsafat membatasi diri akan hal tertentu saja. Bila berarti tidak terbatas, filsafat membahas segala sesuatu yang ada dialam ini yang sering dikatakan filsafat umum. Sementara itu filsafat yang terbatas adalah filsafat ilmu, filsafat pendidikan, filsafat seni dan lain-lainnya.

Filsafat membahas sesuatu dari segala aspeknya yang mendalam, maka dikatakan kebenaran filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja, sesungguhnya isi alam yang dapat dinikmati hanya sebagian kecil saja. Misalnya mengamati gunung es, hanya mampu melihat yang di atas permukaan di laut saja. Sementara itu filsafat mencoba menyelami sampai kedasar gunung es itu untuk meraba sesuatu yang ada dipikiran dan renungan yang kritis.

Dalam garis besarnya ada empat cabang filsafat yaitu: metafisiska, epistemologi, logika, dan etika, dengan kandungan materi masing-masing sebagai berikut :

 1). Metafisika adalah filsafat yang meninjau tentang hakekat segala sesuatu yang terdapat dialam ini. Dalam kaitannya dengan manusia, ada dua pandangan menurut Callahan (1983) yaitu :

 a. Manusia pada hakekatnya adalah spritual. Yang ada adalah jiwa tau roh, yang lain adalah semu. Pendidikan berkewajiban membebaskan jwa dari ikatan semu. Pendidikan adalah untuk mengaktualisasikan diri, pandangan ini dianut oleh kaum Idealis, Scholastik, dan beberapa Realis.

b. Manusia adalah organisme materi.Pandangan ini dianut kaum Naturalis, Materialis, Eksprementalis, Pragmatis, dan beberapa Realis. Pendidikan adalah untuk hidup. Pendidikan berkewajiban membuat kehidupan menusia menjadi menyenangkan.

 2). Epistemologi adalah filfat yang membahas tentang pergaulan dan kebenaran, dengan rincian masing-masing sebagai beikut :

 a. ada lima sumber pengetahuan yaitu:

 (1). Otoritas, yang terdapat dalam ensiklopedia, buku teks yang baik, rums dan tabel.

 (2). Comman sense yang ada pada adat dan tradisi

(3). Intuisi yang berkaitan dengan perasaan

(4). Pikiran untuk menyimpulkan hasil pengelaman 

 (5).Pengalaman yang terkontrol untuk mendapatkan pengetahuan secara ilmiah.

 b. ada empat teori kebenaran yaitu:

 (1). Koheren, sesuatu akan benar bila ia konsesten dengan kebenaan umum. 

 (2). Koresponden, sesuatu akan benar bila ia dengan tepat dengan fakta yang jelas. 

 (3). Pragmatisme, sesuatu dipandang benar bila konsekuensinya memberi manfaat bagi kehidupan.

 (4). Skeptivisme, kebenaran dicari secara ilmiah dan tidak ada kebenaran yang lengkap.

 3). Logika adalah filsafat yang membahas tentang cara manusia berpikir dengan benar. Dengan memahami filsafat logika diharapkan manusia bisa berpikir dan mengemukakan penadapatnya secara tepat.

 4). Etika adalah filsafat yang menguaraikan tentang perilaku manusia, Nilai dan norma masyarakat serta ajaran agama menjadi pokok pemikiran dalam filsafat ini. Filsafat etika sangat besar mempengaruhi pendidikan sebab tujuan pendidikan untuk mengembangan perilaku manusia, anatara lain afeksi peserta didik. 

 Junjun (1981) membagi proses perkembangan ilmu menjadi dua bagian yang seling berkaitan satu dengan yang lain. Tingkat proses perkembangan yang dimaksud adalah: 

 1). Tingkat empiris adalah ilmu yang baru ditemukan di lapangan. Ilmu yang masih berdiri sendiri, baru sedikit bertautan dengan penemuan yang lain sejenis. Pada tingkat ini wujud ilmu belum utuh, masing-masing sesuai dengan misi penemuannya karena belum lengkap.

 2). Tingkat penjelasan atau teoretis, adalah ilmu yang sudah mengembangkan suatu struktur teoretis. Dengan struktur ini ilmu-ilmu emperis yang masih terpisah-pisah itu dicari kaitannya satu dengan yang lain dan dijelaskan sifat kaitan itu. Dengan cara ini struktur berusaha mengintergrasikan ilmu-ilmu empiris itu menjadi suatu pola yang berarti.

 Dari uraian di atas kita sudah berkenalan dengan ilmu empiris berupa simpulan-simpulan penelitian dan konsep-konsep serta ilmu teoretis dalam bentuk teori-teori atau grand theory-grand theory. 

 Pendidikan adalah merupakan salah satu bidang ilmu. Sama halnya dengan ilmu-ilmu yang lain, pendidikan lahir dari induknya filsafat. Sejalandengan proses perkembangan ilmu ilmu pendidikan juga lepas secara perlahan-lahan dari induknya. Pada awalnya pendidikan bersama dengan filsafat sebab filsafat tidak pernah bisa membebaskan diri dengan pembentukan manusia. Filsafat diciptakan oleh manusia untuk kepentingan memahami kedudukan manusia, pengembangan manusia, dan peningkatan hidup manusia. 

C. HUBUNGAN ANTARA FILSAFAT DAN PENDIDIKAN 

 Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.

 D. FILSAFAT PENDIDIKAN

 Filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Ada sejumlah filsafat pendidikan yang dianut oleh bangsa-bangsa di dunia, namun demikian semua filsafat itu akan menjawab tiga pertanyaan pokok sebagai berikut:

 1). Apakah pendidikan itu?

 2). Apa yang hendak dicapai?

 3). Bagaimana cara terbaik merealisasikan tujuan itu?

 Masing-masing pertanyaan ini dapat dirinci lebih lanjut. Berbagai pertanyaan yang bertalian dengan apakah pendidikan itu, antara lain : 

 1). Bagaimana sifat pendidikan itu?

 2). Apakah pendidikan itu merupakan sosialisasi?

 3). Apakah pendidikan itu sebagai pengembangan individu? 

 4). Bagaimana mendefinisikan pendidikan itu ? 

 5). Apakah pendidikan itu berperan penting dalam membina perkembangan atau mengarahkan perkembangan siswa? 

 6). Apakah perlu membedakan pendidikan teori dengan pendidikan praktek? 

 Pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan apa yang hendak dicapai oleh pendidikan, antara lain : 

 1). Beberapa proporsi pendidikan yang bersifat umum?

 2). Beberapa proporsi pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing individu? 

 3). Apakah peserta didik diperbolehkan berkembang bebas? 

 4). Apakah perkembangan peserta didik diarahkan ke nilai tertentu? 

5). Bagaimana sifat manusia? 

6). Dapatkah manusia diperbaiki? 

7). Apakah manusia itu sama atau unik? 

8). Apakah ilmu dan teknologi satu-satunya kebenaran utama dalam era globalisasi? 

 9). Apakah tidak ada kebenaran lain yang dapat dianut pada perkembangan manusia? 

 Pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan cara terbaik merealiasi tujuan pendidikan, anatara lain ? 

1). Apakah pendidikan harus berpusat pada mata pelajaran atau peserta didik? 

 2). Apakah kurikulum ditentukan lebih dahulu atau berupa pilihan bebas? 

 3). Ataukah peserta didik menentukan kurikulumnya sendiri? 

 4). Apakah lembaga pendidikan permanen atau bersifat tentatif? 

 5). Apakah proses pendidikan berbaur pada masyarakat yang sedang berubah cepat? 

 6). Apakah diperlukan kondisi-kondisi tertentu dalam membina perkembangan anak? 

 7). Siapa saja yang perlu dilibatkan dalam mendidik anak-anak? 

 8). Perkembangan apa saja yang diperlukan dalam proses pendidikan? 

 9). Apakah dperlukan nilai-nilai penuntun dalam proses pendidikan? 

 10). Bagaimana sebaiknya proses pendidikan itu, otoriter, primitif, atau 

 demokratis? 

 11). Belajar menekan prestasi atau terpusat pada pengembangan cara belajar dan kepuasan akan hasil belajar?

 Menurut Zanti Arbi (1988) Filsafat Pendidikan adalah sebagai berikut.

 1). Menginspirasikan

2). Menganalisis

 3). Mempreskriptifkan

 4). Menginvestigasi

 Maksud menginsparasikan adalah memberin insparasi kepada para pendidik untuk melaksanakan ide tertentu dalam pendidikan. Melalui filsafat tentang pendidikan, filosof memaparkan idennya bagaimana pendidika itu, kemana diarahkan pendidikan itu, siapa saja yang patut menerima pendidikan, dan bagaimana cara mendidik serta peran pendidik. Sudah tentu ide-ide ini didasari oleh asumsi-asumsi tertentu tentang anak manusia, masyarakat atau lingkungan, dan negara.

Sementara itu yang dimaksud dengan menganalisis dalam filsafat pendidikan adalah memeriksa teliti bagian-bagian pendidikan agar dapat diketahui secara jelas validitasnya. Hal ini perlu dilakukan agar dalam penyusunan konsep pendidikan secara utuh tidak terjadi kerancan, umpang tindih, serta arah yang simpang siur. Dengan demkian ide-ide yang komplek bisa dijernihkan terlebih dahulu, tujuan pendidikan yang jelas, dan alat-alatnya juga dapat ditentukan dengan tepat. 

Francis Bacon dalam bukunya The Advencement of Leraning mengemukakan tesis bahwa kebanyakan pengetahuan yang dimiliki oleh manusia mengandung unsur-unsur valitditas yang bermanfaat dalam menyelesaikan persoalan sehari-hari, bila pengetahuan itu berisikan dari salah satu konsep yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Bacon menggunakan logika induktif sebagai teknik krisis atau analisis untuk menemukan arti pendidikan yang dapat diandalkan. Melalui pengalaman secara kritis dengan logika induktif akan dapat ditemukan konsep-konsep pendidikan.

Mempreskriptifkan dalam filsafat pendidikan adalah upaya mejelaskan atau memberi pengarahan kepada pendidik melalui filsafat pendidikan. Yang jelaskan bisa berupa hakekat manusia bila dibandingkan dengan mahluk lain, aspek-aspek peserta didik yang patut dikembangkan; proses perkembangan itu sendiri, batas-batas bantuan yang bisa diberikan kepada proses perkembangan itu sendiri, batas-batas keterlibatan pendidik, arah pendidikan yang jelas , target-target pendidikan bila dipandang perlu, perbedaan arah pendidikan bila diperlukan sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minat anak-anak.

Johann Herbart dalam bukunya Scence of education menginginkan agar guru mempunyai informasi yang dapat dihandalkan mengenai tujuan pendidikan yang dapat dicapai dan proses belajar sebelum guru ini memasuki kelas. Pondasi pendidikan yang dikontruksi di atas asumsi yang disangsikan kebenarannya atau di atas tradisi yang masih kabur perlu segera diganti dengan informasi-informasi yang valid. Suatu informasi yang direkonstruksi dari atau secara ilmiah.

Yang dimaksud menginvestigasi dalam filsafat pendidikan adalah untuk memeriksa atau meneliti kebenaran suatu teori pendidikan. Pendidikan tidak dibenarkan mengambil begitu saja suatau konsep atau teori pendidikan untuk dipraktikan dilapangan. Pendidik seharusnya mencari sendiri konsep-konsep pendidikan di lapangan atau melalui penelitian-penelitian. Untuk sementara filsafat pendidikan bisa dipakai latar pengetahuan saja. Selanjutnya setelah pendidik berhasil menemukan konsep, barulah filsafat pendidikan dimanfaatkan untuk mengevaluasinya, atau sebagai pembanding, untuk kemungkinan sebagai bahan merevisi, agar konsep pendidikan itu menjadi lebih mantap.

 

John Dewey dalam bukunya Democracy and Education menyatakan bahwa pengelaman adalah tes terakhir dari segala hal. Mereka memandang pengalaman sebagai panji-panji semua filsafat pendidikan yang mempunyai komitmen terhadap inquiry atau penyelidik. Filosfo berfungsi memilih pengalaman-pengalaman yang cocok untuk memanjukan efisiensi sosial. Filsafat pendidikan berusaha menafsirkan proses belajar-mengajar menurut prosedur pengujian ilmiah dan kemudian memberi komentar tentang nilai atau kemanfaatannya. Filsafat pendidikan mencari konsekuensi proses belajar mengajar, apa yang telah dilakukan, apa kelemahannya, dan bagaimana cara mengatasi kelemahan itu

Para filosof, melalui filsafat pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik maupun ditinjau dari latar gografis, sosologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran Perennialis, Realis, Empiris, Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan menimbulkan aliran Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan Rekontruksionis.

Berbagai aliran filafat pendidikan tersebut di atas, memberikan dampak terciptanya konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan mendukung filsafat pendidikan itu. Dalam membangun teori-teori pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan diatas ebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.

Beberapa aliran filsafat pendidikan yang dominan di dunia adalah sebagai berikut :

 1). Esensialis

 2). Perenialis

 3). Progresivis

 4). Rekonstruksionis

 5). Eksistensialisi

 Filsafat pendidikan Esesialis bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah kebenaran secara kebetulan saja. Kebenaran esensial itu adalah kebudayaan klasik yang muncul pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik ditulis dengan bahasa latin dikenal dengan nama Great Book.

 Tekanan pendidikannya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa latin yang sulit itu, diyakini otak peserta didik akan terarah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat diperhatikan, pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir efektif, pengajaran terpusat pada guru.

 Filsafat pendidikan Perenialis bahwa kebenaran pada wahyu Tuhan. Tentang bagaimana cara menumbuhkan kebenaran itu pada diri peserta didik dalam proses belajar mengajar tidaklah jauh berbeda antara esensialis dengan peenialis. Proses pendidikan meraka sama-sama tradisional.

 Filsafat pendidikan Progresivis mempunyai jiwa perubahan, relativitas, kebebasan, dinamika, ilmiah, dan perbuatan nyata. Menurut filsafat ini tidak ada tujuan yang pasti, begitu pula tidak ada kebenaran yang pasti. Tujuan dan kebenaran itu bersifat relatif, apa yang sekarang dipandang benar karena dituju dalam kehidupan, tahun depan belum tentu masih tetap benar. Ukuran kebenaan adalah yang berguna bagi kehidupan manusia hari ini.

Sebagai konsekuensi dari pandangan ini, maka yang dipentingkan dalam pendidikan adalah mengembangan peserta didik untuk bisa berpikir, yaitu bagaimana berpikir yang baik. Hal ini bisa tercapai melalui metode belajar pemecahan masalah yang dilakukan oleh anak-anak itu sendiri. Karena itu pendidikan menjadi pusat pada anak. Untuk mempercepat proses perkembangan mereka juga menekankan prinsip mendisiplin diri sendiri, sosialisasi, dan demokratisasi. Perbedaan-perbedaan individual juga sangat mereka perhatikan dalam pendidikan.

Filsafat pendidikan Rekonstruksionis merupakan variasi dari Progresivisme, yang menginginkan kondisi manusia pada umumnya harus diperbaiki (Callahan, 1983). Meraka bercita-cita mengkonstuksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus diubah dan dibuat baru aliran yang ektrim. Ini berupaya merombak tata susunan kehidupan masyarakat lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sekali, melalui lembaga dan proses pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak berbeda dengan aliran Progresivis.

Filsafat pendidikan Eksistensialis berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adala eksistensi atau adanya individu manusia itu sendiri. Adanya manusia didunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas, akan menjadi apa orang itu ditentukan oleh keputusan komitmennya sendiri. (Callahan, 1983)

Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu, memberikesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangkan pengetahuan diri sendiri, bertanggung jawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri sendiri. Materi pelajaran harus memberikesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri, baik dalam bekerja sendiri maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada kebutuhan langsung dalam kebutuhan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat demokratis dengan teknik mengajar langsung.

PENUTUP

 Filsafat adalah kebenaran menyeluruh yang sering dipertentangkan dengan kebenaran ilmu yang sifatnya relatif. Karena kebenaran ilmu hanya ditinjau dari segi yang bisa diamati oleh manusia saja. Filsafat menjadi sumber dari segala kegiatan manusia atau mewarnai semua aktivitas warga negara dari suatu bangsa.

 Pendidikan adalah usaha manusia untuk menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani sesuai dengan nilai-nilai yang ada didalam lingkungan masyarakat dan lingkungan. Ilmu pendidikan yaitu menyelidiki, merenungi tentang gejala-gejalan perbuatan mendidik.

 Hubungan antara filsafat dan pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu: logika formal yang dibangun atas prinsif koherensi, dan logika dialektis dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.

 Filsafat pendidikan adalah hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam sampai keakar-akarnya mengenai pendidikan. Filsafat pendidikan dijabarkan dari filsafat, artinya filsafat Pendidikan tidak bolah bertentangan dengan filsafat.

 DAFTAR PUSTAKA

 

Suriasumantri, S. Jujun. 1996. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan

Purwanto, Ngalim. M. 2003. Ilmu Pendidikan Teoretis dan Praktis, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya

Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan bercorak Indonesia, Jakarta, PT. Rineka Cipta.

Minggu, 08 November 2009


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Berbicara terntang pengertian, persamaan dan perbedaan antara ahlaq dan etika, moral, dan susila. Untuk menatar dan menciptakan kepribadian peserta didik yang baik untuk mencapai suatu tujuan dalam proses pembelajaran.

Para peserta didik dilatih atau dibimbing untuk mengetahui pengertian akhlak  yang baik dan akhlak yang tercela atau butuk. Dan etika. Moral susila yang akan dibahas secarta detil, karena ketiganya mempunyai hubungan yang sangaty erat atau satu kesatuan. Karena nanti akan di bahas mengenai pengertian, persamaan dan perbedaan antara ketigznya. Dan akhlak merupakan pesan moral bagi para peserta didik agar menjadi orang yang berakhlakul karimah. Yang diddasri prleh etika, moral dan susila.

Pandangan tersebut melatar-belakangi penulis untuk menyusun makalah ini agar menemukan berbagai kesimpulan tentang permasalahn yang diangkat.

B.     Rumusan Masalah

Adapun beberapa rumusan yang dapat diangkat sebagai fokus permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut :

  1. Apa pengertian akhlaq, ektika, moral, dan susila
  2. Apa persamaan-persamaan etika, moral, dan susila
  3. Apa perbedaan-perbedaan etika, moral, dan susila

C.     Tujuan Masalah

Tujuan penulisan dan penyusunan makalah ini yaitu sebagai bahan referensi untuk mengetahui seberapa pentingnya ilmu tentang pengertian persamaan dan perbedaan antara akhlaq, etika dan moral susila. Serta sekaligus sebagai bahan tugas untuk memenuhi kekosongan nilai ujian mata kuliah akhlaq dan Tasawwuf

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     PENGERTIAN AKHLAQ, ETIKA, MORAL, DAN SUSILA

1. Akhlaq

Akhlaq secara etimologi merupakan bentuk jamak dari khulq artinya perangai, tabiat, pekerti. Sedang secara terminologi akhlaq adalah kemampuan/kondisi jiwa yang merupakan sumber dari segala kegiatan manusia yang dilakukan secara spontan tanpa pemikiran. Akhlaq terbentuk dari latihan dan praktek berulang (Pembiasaan). Sehingga jika sudah menjadi akhlaq tidak mudah dihapus. Akhlaq memiliki kedudukan utama, bahkan menjadi puncak kesempurnaan manusia. Ibnu Miskawih mengatakan bahwa akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimnbangan. Imam Al Ghazal mendifinisikan akhlaq sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan,. Mu'jam al Wasith, Ibrahim Anis mengatakan bahwa akhlaq adalah sifat baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Dalam kitab Dairatul Ma'arif secara singkat akhlaq diartikan sifat-sifat manusia yang terdidik. Akhlaq memiliki cakupan yang luas, yaitu mencakup hubungan kepada Sang Pencipta (Allah), sesama manusia, terhadap diri sendiri, maupun dengan lingkungan atau sesama makhluk Tuhan yang lain. Akhlaq dalam Islam tidak lepas dan terkait erat dengan aqidah dan syariah, ia merupakan buah dan sekalugs puncak dari keduanya. Akhlaq menekankan keutamaan, nilai-nilai, kemuliaan dan kesucan (hati dan perilaku), Akhlaq Islami harus diupayakan agar menjadi sistem nilai (etika/moral) yang mendasari budaya masyarakat. Akhlaq yang baik berpangkal dari ketaqwaan kepada Allah dimanupun berada. Selai itu akhlaqa yang baik merupakan manisfestasi dari kemamuan menahana hawa nafsu dan adanya rasa malu. Agar kita senantiasa berakhlaq baik maka harus selalau menimbang perbuatan dengan hati nurani yang bersih. Salah satu tandat atau ciri akhlaqa yang baik yaitu mendatangkan ketenangan jiwa dan kebahagiaan pelakunya. Tapi sebaiknya jika mendatangkan keraguan, kecemasan dan "ingin tidak diketahui orang lain" merupakan isyarat akhlaq yang buruk. Banyak sekali akhlaq mulia (akhlaqul karimah) yang harus menjadi hiasan seorang muslim, demikian juga banyak akhlaq buruk (akhlaqul madzmumah) yang harus dihindari.

2. Etika

Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam KBBI (Kamu Besar Bahasa Indonesia) etika mempunyai banyak ungkapan tentang asas-asas akhlaq (moral). Secara terminologi, etika mempunyai banyak ungkapan yang semuanya itu tergantung pada sudut pandang masing-masing ahli. Ahlad Amin menartikan e3tika sebagai imu yang menjelaskan arti baik buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Soegarda Poerbakawtia mengartikan etika sibagai filsafat nilai, kesusilaan tentang baik-buruk, serta berusaha mempelajari nilai-nilai dan merupakan juga nilai-nilai itu sendiri. 2Ki Hajar Dewantara menjelaskan etika merupakan ilmu yang mempelajari soal kebaikan dan keburukan di dalam hidup manusia semuanya, teristimiwakan yang mengenai gerak gerik pikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tuhan yang dapat merupakan perbuatan. Austin Fogothey (Seperti yang dikutip Ahmad Charris Zubair) mengatakan bahwa etika berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai Antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan hukum. Frankena (seperti juga dikutip Ahmad Charris Zubair) menyatakan bahwa etika sebagai cabang filsafat yaitu filsafat moral atau pemikiran filsafat tentang moralitas, problem moral, dan pertimbangan moral. Dalam Encyclopedia Britanica, etika dinyatakan sebagai filsafat moral, yaitu studi yang sistematik mengenai sifat dasar dan konsep-konsep nilai baik, buruk, harus, benar, salah dan sebagainya. Dari beberapa definisi tersebut, etika berhubungan erat dengan empat hal :

a.       Dilihat dari obyek formal (Pembahasannya), etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan manusia. Dan sebagai obyek materialnya adalah manusia.

b.      Dilihat dari sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran maka tika tidak bersifat Mutlak, absolut, dan Universa. Akan tetapi terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan, dan sebagainya.

c.       Dilihat dari fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap suatau perbuatan yang dilakukan manusia, yaitu apakah perbuatan itu akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina 3 dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilakukan manusia.

d.      Dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relatif yakni dapat berubah-ubah sesuai denga tuntunan zaman, dengan ciri-cirinya yang demikian itu, etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbutan yang dilakukan manusia untuk dikatakan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dilakukan filsof barat mengenai perbuatan yang baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berpikir. Dengan demikian etika bersifat humanistis anthoropocentris, yakni berdasarkan pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasilkan oleh manusia.

  1. Moral

Dari segi bahasa moral berasal dari bahasa latin, mores (Jamak dari kata mos) yang berarti adat kebiasaan. Dalam KBBI (kamus besar bahasa indonesia) dikatakan moral adalah penentuan baik-buruk terhadap perbutaan dan kelakuan. Secara istilah moral merupakan istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbutan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik, atau buruk. Di dalam buku The Advanced Learner's Dictionary of Current English, moral mengandung pengertian:

a.       Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan benar dan salah, baik dan buruk.

b.      Kemampuan untuk memahamni perbedaan antara benar dan salah.

c.       Ajaran atau gambaran tingkah laku yang biak. Berdasarkan kutipan tersebut, dapat dipahami aktivitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika dalam kehidupan sehari-hari dikatakan bahwa orang tersebut bermoral, maka yang dimaksudkan adalah bahwa orang tersebut tingkah lakunya baik.

  1. Susila

Secara bahasa kesusilaan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu su dan sila yang mendapat tambahan ke-an, Su berarti baik, bagus dan Sila berarti dasar, prinsip, peratuan hidup atau norma. Susila juga dapat berarti sopan beradab, baik budi bahasanya. Sehingga kesusilaan berarti kesopanan. Dengan demikian kesusilaan lebih mengacu pada upaya membimbing, memandu, mengarahkan, membiasakan dan memasyarakatkan hidup yang sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Kesusilaan menggambarkan keadaan di mana orang selaluy menerapkan nilai-nilai yang dipandang baik.

B.     PERSAMAAN-PERSAMAAN ETIKA, MORAL, DAN SUSILA

Diantara akhlaq, etika, moral, dan susila memiliki obyek yang sama, yaitu sebagai obyek materialnya adalah manusia dan sebagai obyek formalnya adalah perbuatan manusia yang kemudian ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Dari segi fungsinya sama dalam menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Dari segi tujuannya sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, dan tentaram sehingga sejahtera batiniahnya dan lahiriah. 

C.     PERBEDAAN-PERBEDAAN ETIKA, MORAL, DAN SUSILA

Dalam etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolok ukur  akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam moral dan susila menggunakan tolol ukur norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung dalam masyarakat (adat istiadat), dan dalam akhlaq menggunakan Al-Qur'an dan Al-Hadis untuk menentukan baik-buruknya. Dalam hal ini etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam dataran konsep-konsep (bersifat teoretis), sedangkan moral dipakai untuk perbuatan yang muncul dalam tingkah laku yang berkembang di masyarakat (bersifat praktis). Etika dipakai untuk pengkajian system nilai yang ada, sedangkan moral dipakai untuk perbuatan yang untuk sedang dinilai. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, tetapi moral dan susila lebih bersifat local dan individual. Akhlaq yang berdasarkan pada Al-qur'an dan Al Hadis maka akhlaq bersifat mutlak, absolut, dan tidak dapat diubah. Sementara etika, moral, dan susila berdasar pada sesuatau yang berasl dari manusia maka lebih bersifat terbatas dan dapat berubah sesuai tuntunan zaman.

BAB III

PENUTUP

 

A.     Kesimpulan

Seorang dapat dilihat persamaan antara akhlaq, etika, moral, dan susila, yaitu menentukan khukum atau nilai perbuatn manusia dengan keputusan baik dan buruk sedangkan perbedaannya, terletak pada tolak ukurnya masing-masing, dimana akhlaq dalam menilai perbuatan mansua dengan tulok ukur ajaran al-qur'an dan sunnah. Dan etika dengan pertimbangan akal pikiran, dan moral dengan kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat, dan susila perilaku baik sesuai nilai dan norma-norma yang ada.

 

B.     Saran

Pengertian etika moral, susila, persamaa-persamaan dan perbedaan-perbedaannya merupakan bentuk yang saling berhubungan antara satu dengan yang lainnya. Yaitu sebagai objek materialnya adalah manusia dan sebagai obyek formalnya adalah perbuatan manusia baik atau buruk. Dan perbedaannya etik untuk menentukan perbuatan manusia baik ataau buruk menggunakan tolok ukur akan pikiran atau rasio, moral dan susila mamakai tolok ukur norma-norma adat istiadat.

DAFTA PUSTAKA

 

1.      Jamin ahmad, etika (Ilmu Akhlaq) diterjemahkan oleh K.H. Farid ma'ruf, Jakarta : bulan Bintang 1988 cet, ke-5

2.      Ath,- Thahban ; Pribadi muslim. Tangguh, diterjemahkan oleh Marsumi sasaky Jakarta : PUSTAKA al-Kausar 2000, cet ke-I

3.      Arasteh, Reza, Revolusi, Spritual, Akatualisasi dri Fitri,. Diterjemahkan oleh tim inusiasi, Depok : Inisiasi Press, 2002, cet ke-II

4.      Armistrong ; Amatullah, kamus istilah Sufi, diterjemahkan oleh, Ms nasrullah dan ahmad Baquni, Bandung : Mizan, 1996 cet ke-I

5.      Natas, Abuddin. Akhalk tasawuf. 2003 Jakarta : PT Raya Grafindo Persada. Gunawan. http://aagun2010.mutiply.com/universal/item/7/akhlak.al-karimah diakses tanggal 24 Februari 2008 

Selasa, 03 November 2009

usul fiqh

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dengan melihat ketentuan-ketentuan tekstual Al-Qur'an tekstual Qur'an dan sunnah, para ulama ushul membedakan makna kedalam beberapa corak yang dapat ditampung oleh suatu nass. Para fuqaha' hanafi membedakan empat tingkat makna dalam suatu urutan yang dimulai dengan makna "eksplisit" atau makna langsung suatu nass.
Disamping maknanya yang jelas, suatu nass kadang-kadang membawa makna yang ditunjukkan oleh tanda-tanda dan isyarat-isyarat yang terdapat didalamnya. Maka sekunder ini disebut isyarah Al-Nass, yakni makna yang tersirat suatu nash syar'i bisa juga membawa makna yang tidak ditunjukkan dalam kata-kata atau tanda-tanda tetapi merupakan makna yang bersifat melengkapi yang didukung oleh muatan logis dan yuridis dari nash itu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas penulis dapat merumuskan rumusan sebagai berikut :
1. Pengertian Al-Dalalah ?
2. Macam-macam Al-Dalah ?

 
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Dalalah secara umum adalah "Memahami sesuatu atas sesuatu". Kata "sesuatu yang pertam disebut " Madlul" (yang ditunjuk). Dalam hubungan dengan hukum yang disebut madlul adalah "hukum itu sendiri".
Kata "sesuatu yang kedua disebut dalil (yang menjadi petunjuk) dalam hubungannya dengan hukum disebut "dalil hukum".
Dalam kalimat "asap menunjukkan adanya api" kata "Api" disebut madlul, sedangkan "asap" yang menunjukkan adanya api disebut dalil.
Berpikir denan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut berpikir secara dalalah. 

B. Dalalah Dalam Pandangan Ulama Hanafiyah
Ulama hanafiyah membagi dalalah kepada dua macam : dalalah lafdhiyah dan dalalah ghairu lufdhiyah.
1. Dalalah lafdhiyah adalah dalalah dengan dalil yang digunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafad, suara atau kata. Dalalah dalam pengertian ini, ialah yang menjadi dalil adalah lafad menurut lahirnya.
Dalalah lafdhiyah dibagi menjadi 4 macam yaitu :
a. Dilalah Ibarah (ادلالة العبارة) atau ibarat nash : ungakapan nash.
Adalah makna/pengeriannya yang segera dapat dipahami dari bentuk nash itu sendiri, baik yang dimaksud pengertian asli atau tidak. Seperti firman Allah Saw yang berbunyi :
واحل الله البيع وحرم الربا (القر,- 225)
Artinya : Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al-Baqarah 2 : 233).
Pengertian isyarat nash itu adalah tidak sama antara jual beli dengan riba, dalam pengertian tidak asli adalah jual beli itu halal dan riba itu haram.
b. Dilalah Isyarah (دلالة الإشارة) atau isyarat nash
Adalah makna/pengertian yang tidak segera dapat dipahami dari lafadnya dan tidak dimaksudkan oleh susunan kata, akan tetapi hanya makna lazim (biasanya) dari makna yang segera dapat dipahami dari kata-katanya. Seperti firman Allah swt yang berbunyi :
وعلى المولود له رز فهن ولسو تهن بالمعروف (البقره : 233)

Artinya : Dan kewajiban ayah memberi makanan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf (Qs. Al-Baqarah : 233).
 
Pengertian isyaratun nash bahwa nasab anak dihubungkan kepada bapaknya, bukan kepada ibunya.
c. Dalalah al-nash (دلالة النص) atau petunjuk nash.
Adalah makna/pengertian yang dapat dipahami dari jiwa nash dan rasionalnya.
Adalah penunjukan oleh lafad yang "tersurat" terhadap apa yang "tersirat" dibalik lafad itu. Dalalah ini disebut dengan istilah "mafhum muwafaqah" dan sebagian ulama menamakainyya dengan "qiyas jail".
Penunjukan secara dalalah nash terjadi bila suatu nash menurut ibaratnya menunjukkan suatu hukum terhadap suatu kejadian. Hukum yang terdapat dalam nash, bisa terdapat pula dalam kejadian lain adalah karena ada alasan hukum dalam kejadian lain tersebut. Contohnya firman Allah yang berbunyi :
ولاتقل لهما اف ولاتنهرهما.
Artinya : Janganlah kamu ucapkan kepada kedua orang-orang itu bapakmu ucapan "ah" dan janganlah kamu bentak keduanya.(Qs. Al-Isra' : 23)
Pengertian secara dalalatun nash bahkan semua perkara/perbuatan yang menyakiti hati kedua orang tua, hal itu juga dilarang, alasan ini dapat dipahami berdasarkan pemahaman dari segi bahasa (lughawi) tapa memerlukan penalaran.
d. Dalalah Al-Iqtidha' (kehendak nash)
Adalah dalam suatu ada suatu makna yang sengaja tidak disebutkan karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari susunan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak benar kecuali bila yang tidak tersebut itu dinyatakan. Contoh, firman Allah yang berbunyi :
حرمن عليكم امهاتكم وبناتكم .(النساء : 23)
Aritinya : Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu dan anak-anakmu yang perempuan (Qs. An-Nisa 4 : 23).

Pengertian secara Iqtidhaun Nash pada ayat ini adalah "mengawani mereka", karena menyandarkan keharusan kepada pribadi Ibu dan anak adalah tidak tepat. Maka diperkirakan lafadh yang sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh nash tersebut yaitu kata "mengawini".
2. Dalalah Grairu Lafdhiyah (dalalah bukan lafad)
Adalah dalil yang diinginkan bukan dalam bentuk suara, bukan lafadh dan bukan pula bentuk kata. Dalalah ini juga biasa disebut dalalah sukut atau bayam al-diharurah. Menurut ulama hanafi ada 4 macam, keempat macam dalalah ini memberi petunjuk dengan cara-cara sukut / diam.
a. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang tidak disebutkan.
Contoh :
ولا بوية مكل وحد منهما السدس مماترك ان كان له ولدوان لم يكن له ولد وورثه أبواه فلامه الثلث.(النساء : 11).
Artinya : Untuk dua orang Ibu/Bapak masing-masing mendapat 1/6 bila pewaris meninggalkan anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang mewarisinya adalah Ibu bapaknya, maka untuk ibunya adalah 1/3. (Qs. Al-Nisa' : 11)

b. Diamnya seseorang, padahal tugas orang tersebut harus menjelaskan secara mutlak kejadian itu. 
Seperti diamnya Rasulullah Saw. Ketika menyaksikan suatu peristiwa baik berupa perkataan maupun perbuatan. Selama beliau tidak mengingkari, maka diamnya itu menunjukkan izinnya.
Contoh lain adalah adalan diamnya anak gadis ketika ditanya oleh walinya atau wakilnya untuk dikawinkan dengan seseorang, kemudian gadis itu diam. Hal ini menunjukkan kerelaannya.
c. Diamnya seseorang dianggap sama dengan perkataannya, untuk mencegah terjadinya penipuan/kesamaran.
Seperti diamnya seorang wali dikala melihat orang yang berada dibawah perwaliannya melakukan jual beli, sedang ia tidak melarang. Hal ini menunjukkan bahwa ia memberi izin, sebab kalau tidak dianggap sebagai izin, akan menimbulkan bahaya bagi orang lai.
d. Dalalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma'dud (sesuatu yang terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan panjangnya ucapan kalau disebutkan.
Contoh : umpamanya dalam menyebutkan tahun 1945. kalau diucapkan dengan sempurna "berbunyi" seribu sembilan ratus empat puluh lima" tetapi jarang orang yang menyebut secara sempurna. Kebanyakan orang mengatakan "Sembilan belas empat lima". Meski demikian, namun semua orang sudah mengetahui maksudnya.
3. Dalalah dalam pandangan Ulama Syafi'iyah,
Menurut pandangan ulama syafi'iyah dalalah ada dua yaitu dalalah manthuq dan dalalah mafhum.
a. Dalalah manthuq
Adalah petunjuk lafadh sama dengan arti redaksi lafadh itu sendiri, seperti firman Allah :
وربائبكم اللاتى فى حجوركم من نسائكم اللا تى دخلتم بهن (النساء : 23).
Artinya : Anak-anak, istri-istrimu yang dalam peliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri.(Qs. An-nisa : 23)
Ayat ini menunjukkan haramnya menikahi anak istri yang berada dalam pemeliharaan ayah tiri, jika ibunya telah digauli, penunjukannya begitu jelas dan tidak memerlukan penjelasan.
Dalalah manthuq dibagi menjadi dua macam :
1. Dalalah manthuq sharikh
Adalah petunjuk lafadh yang timbul dari penetapan lafadh itu sendiri walaupun secara tersembunyi. Misalnya firman Allah :
فلا تقل لهمااف
Manthuq sharikh dalam istilah ulama syafi'iyah ini adalah apa yang diistilahkan dengan dalalah ibarah dalam pengertian ulama hanafiyah.
2. Dalalah manthuq ghairu sharikh (tidak jelas)
Adalah petunjuk lafad sesuai dengan kelaziman yang berlaku. Dalalah ini sama dengan dalalah isyarah menrutu ulama' hanafiah. (contohnya : firman Allah (Qs. Al-Baqarah : 233).
b. Dalalah Mafhum
Adalah petunjuk lafadh kepada arti yang tidak disebutkan oleh lafadh itu karena memang didiamkan baik dalam hal menetapkan hukum maupun meniadakan hukum.
Dalalah mafhum dibagi menjadi dua yaitu :
1. Mafhum muwafaqah
Adalah lafadnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafadh.
Contoh : فلا تفار لهمااف
Mafhum muwafaqahnya adalah semua perkataan atau perbuatan yang menyakitkan orang tua juga dilarang. Seperti memukul walaupun didalam ayat itu tidak disebutkan.
Mafhum muwafaqah ini dibagi menjadi dua yaitu mafhum aulawi dan mafhum musawi. Mengenai penjelasan terdapat pada dalalah al-nash yang dibagi menjadi dua menurut
2. Dalalah mukholafah
adalah mafhum yang lafadhnya menunjukkan bahwa hukum yang tidak disebutkan berbeda dengan hukum yang disebutkan.
Mafhum ini dibagi mafhum muskholafah dibagi menjadi lima yaitu :
a. Maftum dengan sifat (مقهوك الوصف )
Adalah petunjuk lafadh yang diberi sifat tertentu kepada berlakunya hukum sebaliknya dari hukum yang disebutkan oleh lafadh itu. Seperti dalam firman Allah: 
ومن تتل مؤمناخطاء فتحرير رقبة مؤمنة (النساء : 92).
"Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman " ( Q.S An Nisa' : 92). 

Mafhum muklolafnya memerdekakan hamba sahaya yang tidak beriman belum memenuhi kewajiban.
b. Mafhum dengan maksimal (مفهوم الغاية)
Adalah petunjuk lafadh yang menentukan suatu hukum sampai dengan batas yang telah ditentukan, apabila telah melewati batas yang ditentukan, maka berlaku hukum sebaliknya.
فان طلقهافا تحل له من بعد حتى تنكح زوجاغيره.

Jika suami mentalak istrinya (talak tiga), tidak halal bekas istri itu untuk nya, hingga bekas istri itu mengawini laki-laki lain.
Mafhum mukholafahnya adalah bekas istri yang ditalak tiga telah kawim lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan telah habis masa iddahnya, maka boleh mengawani bekas istri yang telah ditalak tiga itu.
c. Mafhum dengan syarat (مفهوم الشرط)
Adalah bisa syarat terpenuhi berlaku hukum, tetapi bila syarat itu tidak terpenuhi maka dapat ditetapkan hukum sebaliknya.
Contoh :
وان كن اولات حمل فانفقوا عليهن حتى يضعن حملهن.

"Jika perempuan (yang diurai) itu dalam keadaan hamil maka berilah nafkah sampai mereka melahirkan " ( Q.S .Al-Thalaq : 6)

Mafhum mukholafnya adalah tidak wajibnya, memberi nafkah pada istri yang dicerai bain bila ia tidak hamil.
d. Mafhum dengan bilangan
Adalah petunjuk lafadh yang memberi pengertian yang dinyatakan dengan bilangan tertentu dan akan berlaku hukum sebaliknya pada bilangan lain yang berbeda. Contohnya:
الزانية والزانى فاجلدو اكل واحد منهما مائة جلد ة (النور : 2)
"Penzina perempuan dan penzina laki-laki deralah masing-masing sebanyak 100 kali"

Mafhun mukholafahnya adalah mendera pezina kuranf dari 100 kali belum memadai.lebih dari 100 kali tidak boleh/ tidal sah bila didera kurang atau lebih dari 100 kali harus pas 100 kali.

e. Mafhum dengan gelar (مفهوم الكتب)
Adalah penunjukan suatu lafadh yang menjelaskan berlakunya suatu hukum untuk suatu nama atau sebutan tertentu atas tidak berlakunya hukum itu untuk orang-orang lain.
Umpanya firman Allah yang berbunyi :
محمدرسول الله (الفتح : 29)
Muhamamad itu adalah utusan Allah (Q.S. Al-Fat : 29)
Mafhum mukholafahnya adalah selain nabi Muhammad bukan Utusan Allah.
 
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hukum biasanya menuntut pemenuhan, tidak saja dengan makna teksnya yang terbaca jelas, tetapi juga dengan makna-makna yang dicakupnya dan petunjuk-petunjuk serta inferensi-inferensi yang bersifat tidak langsung yang ditarik darinya. Metode-metode diatas umumnya disusun untuk mendukung penelitian rasional dalam deduksi ahkam dari sumber –sumber wahyu Allah.
Al-dalalah merupakan sesuatu yang di ambil dari hukum syara' mengenai perbuatan manusia. Dalam klasifikasi Al-dalalah kaidah dasar yang harus di kemukakan adalah bahwa nash syar'i tidak pernah mensyariatkan makna sebaliknya, dan interpretasi yang berusaha membaca makna sebaliknya kedalam nash yang ada tidaklah teruji dan dapat dipertahankan. Jika dibutuhkan lagi nash tersendiri untuk mengesahkannya tetapi upaya untuk mempertahankan dua makna yang berlawanan dalam sebuah nash yang sama berarti menentang esensi dasar dan tujuan interpretasi.

B. Saran
Kami sebagai penulis makalah ini menyadari bahwa kami adalah yang dhoif tidak luput dari kesalahan dan kekeliruan oleh karena itu kami mengharap kritik dan saran dari semua pembaca demi kesempurnaan dan memperbaiki pada penyusunan makalah berikutnya.
 
DAFTAR PUSTAKA


1. Arifin, Miftahul, Haq, Faishal. Ushul Fiqh. Surabaya : Citra Media, 1997.

2. Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta : Kecana, 2008.

3. Hasyim Kamali Ahmad. Prinsip Dan Teori-Teori Hukum Islam. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996.
 
KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmatnya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan baik dan benar, sholat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita semua dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan keintelektualan.
Selanjutnya kami berterima kasih kepada semua pihal yang telah membantu kami dalam mencari pengetahuan ini juga dengan tugas dengan tugas-tugas tersebut. Tidak lupa pula kepada semua teman yang telah berpartisipasi dalam penyusunan makalah ini. Mungkin penyusunan makalah ini belum sempurna sepenuhnya, maka dari tiu support dari teman-teman untuk mengoreksi dan untuk kesempurnaan penyusunan makalah berikutnya.


Pamekasan, November 2008 


KELOMPOK III

 
LAFADZ DARI SEGI DILALAH

MAKALAH
 Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah "ushul fiqih II"
Yang dibina oleh Bapak : H. Ababadi Ishomuddin



Disusun Oleh:
Moh. Rizqi (180 711 260)
Mahfudhoh (180 711 237)
Unailah (180 711 376)
Nurul Madaniyah (180 711 524)



SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI PAMEKASAN
  JURUSAN TARBIYAH
 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM 
November 2008
 








makalah ulumul qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai suku yang secara sporadic tersebar di sepanjang jazirah arab untuk berkomunikasi dan berinteraksi, membuat Al-Qur'an dibaca dengan berbagai ragam qira'ah. Lahirnya berbagai macam qira'at itu sendiri. Dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW Sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur'an dengan berbagai macam qira'at. Beliau bersabda; Al-Qur'an itu diturunkan dengan menggunakan 7 huruf (unzila hadza Al-Qur'an 'ala sab'ah ahruf) dan hadits-hadits lain yang sepadan dengannya. Kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya Al-Qur'an Al-Wajiz menolak muatan hadits itu sebagai justifikasi qira'ah sab'ah, konteks hadits itu sendiri memberikan peluang Al-Qur'an dibaca dengan berbagai ragam qira'ah.
Hal inilah yang kemudian kiranya menjadi tolak ukur kami dalam pembuatan makalah ini, yaitu tentang betapa pentingnya mengetahui secara mendetail tentang qira'ah itu sendiri. Karena hal pertama yang paling penting dalam pemahaman Al-Qur'an adalah mengetahui terlebih dahulu tentang tata-cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adala sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian Qira'at Al-Qur'an.
2. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya Qira'at.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat diterimanya Qira'at.
4. Untuk mengetahui urgensi mempelajari Qira'at.
 
BAB II
PEMBAHASAN
ILMU QIRA'AT AL-QUR'AN

A. Pengertian Qira'at Al-Qur'an
Berdasarkan etimologi (bahasa), qira'at merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qara'a (membaca), sedangkan berdasarkan pengertian terminologi (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama':
1. Menurut Az-Zarqani:
Artinya; Madzhab yang dianut oleh seorang imam qira'at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-qur'an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan-pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.
2. Menurut Ibn Al-Jazari:
Artinya; ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur'an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
3. Menurut Al-Qasthalani:
"Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughah, hadzaf, I'rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan."
4. Menurut Az-Zarkasyi:
Artinya; Qira'at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara mengucapkan huruf-huruf tersebut, dan atau yang lainnya.
5. menurut Ash-Shabuni:
Artinya; Qira'at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur'an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Perbedaan cara pendefenisian diatas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur'an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan diantara beberapa qira'at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira'at yang dapat ditangkap dari definisi diatas, yaitu;
1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur'an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat al-qur'an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I'rab, itsbat, fashl, dan washl.

B. Latar Belakang Timbulnya Qira'at
Hal yang melatar belakangi timbulnya Qira'at ini dapat dispesifikasi menjadi 2 yaitu:
1. Latar Belakang Historis
Qira'at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu qira'at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:
a. Suatu ketika 'Umar bin khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Qur'an. 'Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut 'Umar, bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Sesuai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda:
Artinya; memang begitulah al-qur'an diturunkan. Sesungguhnya al-qur'an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.

b. Didalam riwayatnya, Ubay pernah bercerita,
Aku masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan dia membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku. Setelah ia selesai, aku bertanya, "Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW." Kemudian datanglah seorang lainnya mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku dan bacaan orang pertama. Setelah shalatnya selesai, aku bertanya, "Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW." Kedua orang itu lalu kuajak menghadap Nabi, beliau meminta salah satu dari orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, "Baik." Kemudian Nabi meminta kepada yang lain melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya, "Baik." 
Sahabat-sahabat Nabi SAW terdiri dari beberapa golongan yang mempunyai lahjah (dialek) berlainan. Untuk memberikan kemudahan maka Allah SWT yang maha bijaksana, menurunkan Al-Qur'an dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan yang lain (7 golongan)
Para sahabat tidak semuanya mengetahui cara membaca Al-Qur'an secara lengkap, sebagian mengambilnya dari Rasulullah SWT satu cara, dua cara, dst. Kemudian para sahabat berpencar dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga menjadi populer di daerah itu. Terjadilah perbedaan cara baca Al-Qur'an antara satu kota dengan kota yang lain. Hal ini bertambah luas setelah para tabi'in mempelajari dari para sahabat, dan tabi'it-tabi'in mempelajari dari para tabi'in. dengan demikian timbul qira'at yang mutawatir maupun yang tidak. 

2. Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada')
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira'at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira'at kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur'an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus 'Umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh nabi sendiri. Hal itu mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur'an itu sebagai berikut.
a. Perbedaan dalam I'rab atau harakat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah berikut:
   •  
Artinya; "…(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir…" (QS. An-Nisa': 37).
Kata bakhl disini dapat dibaca fathah pada huruf ba'-nya sehingga dibaca bi al-bakhli; dapat pula dibaca dhammah pada ba'-nya, sehingga menjadi bi al-bukhli.
b. Perbedaan pada I'rab dan harakat (baris) kalimat sehingga merubah maknanya, misalnya pada firman Allah berikut.
     
Artinya; "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami." (QS. Saba'; 19)
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah ba'id karena statusnya sebagai fi'il amar; boleh juga dibaca ba'ada yang berarti kedudukannya menjadi fi'il madhi sehingga artinya telah jauh.
c. Perbedaan perubahan huruf tanpa perubahan I'rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah berikut;
      
Artinya; "…dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali." (QS. Al-Baqarah; 259)
Kata munsyizuha (Kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf zay (za') diganti dengan huruf ra' sehingga berubah bunyi menjadi munsyiruha, yang berarti Kami hidupkan kembali. 
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah berikut;
     
Artinya; "…dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan." (QS. Al-qari'ah; 5)
Beberapa qira'at mengganti kata ka al-'ihn dengan ash-shufi sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma' ulama tidak dibenarkan karena bertentangan dengan Mushaf 'Utsmani.
e. Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan thal 'in mandhud menjadi thalhin mandud.
f. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirinya, misalnya pada firman Allah yang berbunyi:

    
Artinya; "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya." (QS. Qaaf: 19)
Konon, menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi wa ja'at sakrat al-haqq bi al-maut. Ia menggeser kata al-maut ke belakang, dan memasukkan kata al-haqq. Setelah mengalami pergeseran, bila kalimat itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, berarti dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian. Qira'at ini juga tidak dipakai karena menyalahi ketentuan yang berlaku.
g. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah berikut:
•     
Artinya; "…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya." (QS. Al-Baqarah: 25)
Kata min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa min justru ditambah. 

C. Syarat-Syarat Diterimanya Qira'at
Untuk menangkal penyelewengan qira'at, para ulama menentukan 2 syarat bagi qira'at yang dapat diterima:
1. Qira'at itu harus sesuai dengan bahasa Arab.
2. Qira'at itu harus sesuai dengan salah satu Mushaf 'Utsmany, atau qira'at Ibnu 'Amir, atau qira'at Ibnu Katsir. Qira'at Ibnu 'Amir terdapat dalam Mushaf 'Utsmany yang dikirim ke Syam, sedangkan qira'at Ibnu Katsir terdapat dalam Mushaf 'Utsmany yang di kirim ke Mekkah. 

D. Madzhab Qira'at
Tentang Madzhaf qira'ah ini dapat di bedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Qira'ah Sab'ah (Qira'ah tujuh). Kata sab'ah itu sendiri maksudnya adalah imam-imam qira'at yang tujuh. Mereka itu adalah:
1. 'Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120 H) dari Mekkah. Ia termasuk generasi Tabi'in. Qira'at yang Ia riwayatkan diperoleh dari "Abdullah bin Jubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang pernah di temuinya antara lain Anas bin Malik, Abu Ayyub Al-Anshari, 'Abdullah bin 'Abbas, dan Abu Hurairah.
2. Nafi' bin Abdurrahman bin Abu Na'im (w. 169 H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira'at pada 70 orang Tabi'in. Dan para tabi'in yang menjadi gurunya itu belajar kepada Ubay bin Ka'ab, 'Abdullah bin 'Abbas, dan Abu Hurairah.
3. 'Abdullah Al-Yashibi, terkenal dengan sebutan Abu 'Ami Ad-Dimasqi (w. 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira'at dari Al-Mughrah bin Abu Syaibah Al-Mahzumi, dari 'Utsman bin 'Affan. Tokoh tabi'in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah yang bernama Nu'man bin Basyir dan Wa'ilah bin Al-Asyqa'. Sebagian riwayat mengatakan bahwa 'Abdullah Al-Yahshibi sempat berjumpa dengan 'Utsman bin 'Affan secara langsung.
4. Abu 'Amar (w. 154 H) dari Bashrah. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Al-A'la bin 'Ammar. Ia meriwayatkan qira'at dari Mujahid bin Jabr.
5. Ya'qub (w. 205 H) dari Bashrah. Nama lengkapnya adalah Ibn Ishak Al-Hadhrami. Ya'qub belajar qira'at pada Salam bin Sulaiman Ath-Thawil yang mengambil qira'at dari 'Ashim dan Abu Amar.
6. Hamzah (w. 188 H). Nama lengkapnya adalah Ibnu Habib Az-Zayyat. Hamzah belajar qira'at dari Sulaiman bin Mahram Al-A'masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari 'Utsman bin 'Affan, 'Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas'ud.
7. 'Ashim, nama lengkapnya adalah Ibn Abi Al-Najud Al-Asadi (w. 127 H). Ia belajar qira'at kepada Dzar bin Hubaisy, dari 'Abdullah bin Mas'ud.
b. Qira'ah 'Asyirah (Qira'ah sepuluh). Yang dimaksud ialah qira'at tujuh yang telah di sebutkan diatas di tambah dengan tiga qira'at sebagai berikut:
1. Abu Ja'far, nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa'qa Al-Makhzumi Al-Madani.
2. Ya'qub, nama lengkapnya adalah Ya'qub bin Ishak bin Yazid bin 'Abdullah bin Abu Ishak Al-Hadrami Al-Bashri.
3. Khallaf bin Hasyim, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa'lab Al-Bazzaz Al-Baghdadi.
c. Qira'at 'Arba'at Asyrah (Qira'at empat belas). Yang dimaksud ialah qira'at sepuluh yang sudah disebutkan diatas di tambah dengan empat qira'at sebagai berikut:
1. Al-Hasan Al-Bashri. Ia merupakan salah seorang tabi'in besar yang terkenal kezahidannya.
2. Muhammad bin Abdurrahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahishan. Ia adalah guru Abu 'Amr.
3. Yahya' bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi. Ia mengambil qira'at dari Abi 'Amr dan Hamzah.
4. Abu Al-Fajr Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz. 

E. Urgensi Mempelajari Qira'at Dan Pengaruhnya Dalam Istinbat Hukum
a. Urgensi Mempelajari Qira'at
a) Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira'at syadz, Sya'ad bin Abu Waqash memberi tambahan ungkapan mim umm sehingga ayat itu berbunyi:
           مِنْ أُمٍّ    • 
Artinya; "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta." (QS. An-Nisa: 12)

b) Menarjih hukum yang di perselisihkan para ulama
c) Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam Surat Al-Baqarah ayat 222, di jelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelum haidnya berakhir. Sedangkan qira'at yang membacanya dengan yuththahhirna (didalam Mushaf 'Utsmani tertulis yathhurna), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d) Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam Surat Al-Maedah ayat 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca arjulikum. Perbedaan qira'at ini tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e) Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata didalam Al-Qur'an yang mungkin sulit di pahami maknanya.

b. Pengaruhnya Dalam Istinbath Hukum
Perbedaan qira'at terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh tersebut.
                         •       
Artinya; "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang telah di perintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)

Berkaitan dengan ini, diantara imam qira'at yang tujuh, yaitu Abu Bakar Syu'bah, Hamzah, dan Al-Kisa'i membaca kata yathhurna dengan memberi syiddah pada hurup tha' dan ha'. Maka, bunyinya menjadi yuththahhirna. Berdasarkan perbedaan qira'at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat, sesuai dengan banyaknya perbedaan qira'at. Ulama yang membaca yathhurna berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali bila ia telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara itu, ulama yang membaca yuthhahhirna menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih. 
Dari contoh di atas, dapatlah diketahui bahwa qira'at Al-Qur'an sangat berpengaruh besar terhadap penentuan suatu hukum, karena ketika perbedaan qira'at terjadi, maka makna dari lafadz juga akan berbeda, sehingga sudah barang tentu dalam penentuan istinbath hukumnya juga akan terjadi perbedaan sebagaimana perbedaan qira'at itu sendiri.
 
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbedaan dialek dari berbagai suku arab, tidak lain adalah penyebab yang melatar belakangi terjadinya perbedaan qira'at Al-Qur'an. Sehingga menjadi keharusan untuk membuat syarat-syarat tentang di terimanya qira'at. Dan yang paling penting dari semua itu adalah betapa berperan pentingnya qira'at dalam penentuan istinbath hukum, karena dari perbedaan qira'at itu sendiri akan memunculkan spesifikasi baru tentang makna dari suatu ayat, sehingga esensi dari suatu ayat akan mengalami perbedaan dari lafadz aslinya.
Dan hal yang tidak kalah pentingnya dari itu semua adalah bahwa semua adalah tentang alur dari terjadinya perbedaan qira'at itu sendiri, dimana perbedaan itu bukan semata-mata dilatar-belakangi oleh perbedaan dialek saja, melainkan juga di sebabkan karena qira'at itu sendiri di ajarkan secara turun-temurun. Mulai dari Rasulullah, kemudian kepada para sahabat, kemudian kepada para tabi'in, dan selanjutnya kepada tabi'it-tabi'in.

B. Kritik Dan Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kekurangan dan kekeliruan dalam pembahasan ini kami mohon ma'af karena hal ini adalah proses awal bagi kami. Dan dalam penulisan makalah ini kami juga mohon kritik dan sarannya, agar dalam penulisan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Dan juga kami berterima kasih pada semua yang telah membantu dalam penulisan ini.
 
DAFTAR PUSTAKA

- DR. Rosihon Anwar, M. Ag. Ulumul Qur'an, Pustaka Setia, Bandung, 2006.
- Hasbi As Siddiqie Prof. Dr. T.M.H, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997.
- Muhammad bin Muhammad Abu Syakbah Prof. Dr, Pengantar Studi Al-Qur'an, Studi Press, Jakarta, 1998.