Powered By Blogger

Senin, 19 April 2010

perbedaan madzhab fiqih

SEBAB-SEBAB TERJADINYA 

PERBEDAAN PENDAPAT DALAM HUKUM ISLAM


Oleh Ahmad Seadie

PENDAHULUAN


Di antara ayat-ayat Quran ada yang disebut ayat Muhkamat dan ayat Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang sudah jelas arti dan maksudnya serta mudah dipahami. Ayat ini disebut juga Qot’iy al-Dalalah, yaitu ayat yang artinya satu dan jelas serta bersifat absolut. Sedangkan ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang belum jelas pengertiannya dan mengandung arti lebih dari satu. Sehingga untuk menentukan mana arti yang dimaksudkan ayat tersebut perlu diadakan penelitian dan pengkajian yang lebih mendalam. Ayat ini disebut juga Zonny al-Dalalah, yaitu ayat yang artinya tidak jelas dan boleh mengandung arti lebih dari satu.

Dari kedua macam ayat Quran tersebut di atas, ayat Mutasyabihatlah yang menyebabkan timbulnya pertentangan antara para ulama, karena dalam memahami ayat tersebut mereka berbeda pendapat. Perbedaan dalam memahami dan menginterpre-tasikan ayat Mutasyabihat inilah (di samping perbedaan dalam memahami isi Sunah yang tidak bersifat absolut) yang kemudian melahirkan aliran-aliran (mazhab) dalam Islam. Dalam teologi (ilmu kalam) lahir lima mazhab, yaitu: Khawarij, Murji’ah, Muktazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah. Sedangkan dalam hukum (ilmu fikih) lahir beberapa mazhab, di antaranya, mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali (keempat mazhab ini adalah mazhab besar), serta mazhab-mazhab lainnya yang termasuk mazhab kecil, yaitu mazhab at-Tauri, an-Nakha’i, at-Tabari, al-Auza’i dan az-Zahiri. 

Khusus dalam bidang hukum Islam (fikih), hal tersebut di atas merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat. Masih banyak faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Faktor-faktor lain inilah yang penulis ingin bahas dalam makalah ini.


PEMBAHASAN


Faktor Penyebab Terjadinya Perbedaan Pendapat dalam Hukum Islam

Jika kita memasuki kawasan hukum Islam (fikih), maka kita tidak akan lepas dari terjadinya perbedaan pendapat dalam suatu masalah. Hal ini disebabkan obyek bahasan fikih biasanya adalah masalah-masalah ijtihadiyah, yaitu masalah yang untuk menen-tukan hukumnya harus dilakukan ijtihad lebih dahulu. 

Sebagai contoh, dalam masalah hukum membaca Quran bagi orang yang sedang haid, terjadi perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Ada yang mengatakan hukumnya tidak boleh, dengan alasan bahwa pada saat sedang haid, manusia dalam keadaan tidak suci dan ada Hadis yang melarangnya. Ada pula yang membolehkannya, dengan alasan tidak ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya. Contoh lainnya adalah seorang istri yang ditalak tiga oleh suaminya. Istri yang dalam keadaan seperti ini tidak boleh dirujuk oleh suaminya kecuali jika ia telah menikah dengan suami baru dan suaminya yang baru itu telah menceraikannya. Inilah hukum yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Quran surat al-Baqarah (2): 230. Yang diperselisihkan adalah apakah istri dan suaminya yang baru itu harus melakukan persetubuhan terlebih dahulu sebelum mereka bercerai. Sebagian besar ulama berpen-dapat bahwa sebelum diceraikan, istri harus disetubuhi dahulu oleh suaminya yang baru. Akan tetapi Sa’ied ibn Musyayyab berpendapat bahwa suami pertama boleh menikah kembali dengan istrinya itu setelah diceraikan oleh suami barunya, walaupun belum disetubuhi. Kedua contoh ini merupakan masalah yang masuk dalam wilayah fikih. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya, keduanya tidak luput dari terjadinya perbedaan pendapat.

Faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih sangat banyak, sehingga di antara para ulama terjadi perbedaan argumentasi tentang faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya perbedaan-perbedaan itu dalam fikih. Dalam makalah ini penulis mencoba menggabung argumentasi-argumentasi para ulama tersebut. 

Di antara faktor penyebab terjadinya perbedaan pendapat itu adalah:

1. Perbedaan mengenai sahih dan tidaknya nash. 

Kesahihan suatu nash (dalam hal ini Hadis) kadang-kadang diperdebatkan. Ada ulama yang mau menerima kesahihan suatu nash dan ada pula yang menolaknya. Hal ini terjadi karena mereka berbeda pendapat dalam menilai tsiqat (terpercaya) tidaknya seorang perawi, lemah tidaknya matan dan sanad suatu Hadis jika dibandingkan dengan matan dan sanad lain. Ada seorang mujtahid yang menggunakan suatu Hadis sebagai hujjah karena perawinya ia anggap dapat dipercaya, tetapi oleh mujtahid lainnya Hadis tersebut ditolak, karena, menurutnya, perawi Hadis itu tidak dapat dipercaya. 

2. Perbedaan dalam memahami nash.

Dalam suatu nash, baik Quran maupun Hadis, kadang-kadang terdapat kata yang mengandung makna ganda (musytarak), dan kata majazi (kiasan), sehingga arti yang terkandung dalam nash itu tidak jelas. Terhadap nash yang demikian ini, para ulama berbeda-beda dalam memahaminya. Misalnya kata قُرُوْءٍ (qur’) dalam surah al-Baqarah (2): 228 mempunyai 2 arti, “suci” dan “haid”, sehingga dalam menafsirkan ayat tersebut para mujtahid berbeda pendapat. Di samping itu, perbedaan pemahaman ini juga disebabkan perbedaan kemampuan mereka satu sama lain.

3. Perbedaan dalam menggabungkan dan mengunggulkan nash-nash yang saling bertentangan. 

Dalam suatu masalah kadang-kadang terdapat dua atau lebih nash yang bertentangan, sehingga hukum yang sebenarnya dari masalah tersebut sulit diputuskan. Untuk memutuskannya biasanya para ulama memilih mana nash yang lebih kuat (arja¥) di antara nash-nash itu, atau mencari titik temu di antara nash-nash tersebut. Dalam mengambil keputusan dan mencari titik temu inilah biasanya para ulama berbeda pendapat.

4. Perbedaan dalam kaidah-kaidah ushul sebagai sumber intinbath.

Para mujtahid, dalam memilih suatu Hadis atau mencari suatu dalil, mempunyai cara pandang dan metode yang berbeda-beda. Suatu Hadis, yang oleh seorang mujtahid dijadikan sebagai dalil dalam suatu masalah, mungkin saja ditolak oleh mujtahid lain dalam masalah yang sama. Hal ini disebabkan sudut pandang mereka terhadap Hadis itu tidak sama. Ada mujtahid yang mengambil perkataan atau fatwa seorang sahabat Nabi dalam memecahkan suatu masalah, tetapi ada pula mujtahid yang menolaknya, tidak mau mengambil fatwa sahabat tersebut. Begitu pula ada mujtahid yang menjadikan amaliah penduduk Medinah sebagai hujjah, tetapi oleh mujtahid lainnya ditolak. Hal ini karena mereka mempunyai metode yang berbeda dalam menentukan suatu hukum. 

5. Perbedaan dalam perbendaharaan Hadis

Di antara para sahabat, kemungkinan besar, banyak yang koleksi Hadisnya tidak sama dengan sahabat lainnya. Hal ini karena tidak mungkin mereka selalu bersama-sama berkumpul atau mendampingi Nabi. Mungkin saja pada saat sahabat yang satu sedang bersama Nabi sedangkan sahabat yang lain tidak hadir, sehingga pada saat Nabi mengemukakan suatu masalah ia tidak tahu. Oleh karena di antara para sahabat sendiri koleksi Hadisnya tidak sama, maka sudah barang tentu di antara para mujtahid pun akan terjadi hal yang sama. Perbedaan koleksi Hadis yang dimiliki para mujtahid ini pada gilirannya akan menyebabkan mereka berbeda pendapat.

6. Perselisihan tentang ilat dari suatu hukum 

Perselisihan para mujtahid mengenai ilat (`illah=sebab) dari suatu hukum juga merupakan salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat dalam fikih. Sebagai contoh, dalam Islam kita diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah. Para mujtahid berbeda pendapat tentang siapa jenazah itu, orang Islam, orang Kafir, atau kedua-duanya. Sebagian besar mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksudkan adalah kedua-duanya, jenazah orang Islam dan Kafir. Jadi, umat Islam diperintahkan untuk berdiri jika bertemu dengan usungan jenazah, baik jenazah orang Islam maupun orang Kafir. Akan tetapi ada yang berpendapat bahwa perintah untuk berdiri itu hanya terhadap jenazah orang Kafir. Hal ini karena di dalam sebuah Hadis diterangkan bahwa pada suatu hari, ketika sedang berjalan, Rasulullah saw. bertemu dengan jenazah orang Yahudi, lalu beliau berhenti dan berdiri.


Sikap Kita Dalam Menghadapi Perbedaan Pendapat Dalam Hukum Islam


Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah yang ada dalam fikih harus disikapi dengan arif dan bijaksana. Kita tidak boleh bersikap apriori dengan langsung menyalah-kan satu pendapat dan membenarkan pendapat lainnya. Sikap apriori yang semacam ini dapat memicu terjadinya perpecahan di kalangan umat. Masalah yang biasanya menimbulkan perbedaan pendapat dalam fikih adalah masalah furu’iyah (cabang), bukan masalah pokok. Oleh karena itu, mempertajam pertentangan atau perbedaan pendapat dalam maslah cabang ini hanyalah membuang-buang waktu dan energi.

Sebenarnya di antara para imam mazhab sendiri tidak ada satu pun yang merasa pendapatnya paling benar. Mereka tidak saling menyalahkan, apalagi menjatuhkan. Bahkan di antara mereka tidak ada yang menyuruh orang untuk hanya mengikuti pendapat mazhabnya, karena mereka menyadari bahwa mereka hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari salah dan lupa. Imam Malik pernah berkata :

“Saya ini tidak lain, melainkan manusia biasa. Saya boleh jadi salah dan boleh jadi benar. Maka oleh sebab itu, lihatlah dan pikirlah baik-baik pendapat saya. Apabila sesuai dengan Kitab (Al Qur’an) dan Sunnah, maka ambillah ia dan jika tidak sesuai dengan Kitab dan Sunnah, maka tinggalkanlah ia.” 


Imam Syafi’i pernah berkata kepada Imam Ar-Rabi’:

“Apa saja yang telah berlaku menurut sunnah Rasulullah s.a.w. padahal bersalahan dengan mazhabku, maka tinggalkanlah mazhabku itu karena sunnah itulah mazhab yang sebenarnya.” 


Jadi jelaslah bahwa di kalangan imam mazhab sendiri tidak terjadi perselisihan, apalagi perpecahan. Mereka sebenarnya telah benar-benar memahami Hadis Rasulullah saw. yang berbunyi: 

اختلاف أمتي رحمة

“Perbedaan pendapat di kalangan umatku adalah suatu rahmat.”

Di sini Rasulullah memberikan isyarat kepada umatnya bahwa perbedaan pendapat itu pasti terjadi di antara sesama umat Islam. Dalam Hadis itu pula beliau mengajarkan umatnya bagaimana menyikapi perbedaan pendapat tersebut. Di sini tam-pak bahwa beliau ingin agar perbedaan pendapat itu justru mempersatukan umat, bu-kan masalah memecah-belah mereka. Carilah hikmah di balik perbedaan-perbedaan itu.


 

KEPUSTAKAAN


Abi Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hishni ad-Dimasyqi asy-Syafi’i, al-Imam Taqi ad-Din. Kifayat al-Akhyar fi Hall Ghayat al-Ikhtishar. Semarang: Toha Putra, t.t., Jilid 1 dan 2.


Arifin, Bey. et. al. Menuju Kesatuan Paham Tentang Mazhab. Surabaya: Bina Ilmu, 1985


Al Bayanuni, Muhammad Abul Fath. Studi Tentang Sebab-sebab Perbedaan Mazhab. Surabaya: Mutiara Ilmu, 1994.


Dasuki, Hafizh. et. al. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994, Jilid 4


Al Dzarwy, Ibrahim Abbas. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam. Semarang : Dina Utama, 1993


Hasan, Drs. M. Ali. Bagaimana Sikap Muslim Menghadapi Masalah Khilafiyah, Jakarta (1975): Bulan Bintang.


Hasyim, Umar. Membahas Khilafiyah Memecah Persatuan, Wajib Bermazhab dan Pintu Ijtihad Tertutup[?]. Surabaya: Bina Ilmu, 1984.


Mujamma’ Khadim al Haramain asy Syarifain al Malik Fahd li thiba’at al Mush-haf asy Syarif. Al Qur'an dan Terjemahnya, 1413 H.


Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1983, hlm. 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar