Powered By Blogger

Selasa, 03 November 2009

makalah ulumul qur'an

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perbedaan dialek (lahjah) dari berbagai suku yang secara sporadic tersebar di sepanjang jazirah arab untuk berkomunikasi dan berinteraksi, membuat Al-Qur'an dibaca dengan berbagai ragam qira'ah. Lahirnya berbagai macam qira'at itu sendiri. Dengan melihat gejala beragamnya dialek, sebenarnya bersifat alami (natural), artinya tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu, Rasulullah SAW Sendiri membenarkan pelafalan Al-Qur'an dengan berbagai macam qira'at. Beliau bersabda; Al-Qur'an itu diturunkan dengan menggunakan 7 huruf (unzila hadza Al-Qur'an 'ala sab'ah ahruf) dan hadits-hadits lain yang sepadan dengannya. Kendatipun Abu Syamah dalam kitabnya Al-Qur'an Al-Wajiz menolak muatan hadits itu sebagai justifikasi qira'ah sab'ah, konteks hadits itu sendiri memberikan peluang Al-Qur'an dibaca dengan berbagai ragam qira'ah.
Hal inilah yang kemudian kiranya menjadi tolak ukur kami dalam pembuatan makalah ini, yaitu tentang betapa pentingnya mengetahui secara mendetail tentang qira'ah itu sendiri. Karena hal pertama yang paling penting dalam pemahaman Al-Qur'an adalah mengetahui terlebih dahulu tentang tata-cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) itu sendiri.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adala sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian Qira'at Al-Qur'an.
2. Untuk mengetahui latar belakang timbulnya Qira'at.
3. Untuk mengetahui syarat-syarat diterimanya Qira'at.
4. Untuk mengetahui urgensi mempelajari Qira'at.
 
BAB II
PEMBAHASAN
ILMU QIRA'AT AL-QUR'AN

A. Pengertian Qira'at Al-Qur'an
Berdasarkan etimologi (bahasa), qira'at merupakan kata jadian (mashdar) dari kata kerja qara'a (membaca), sedangkan berdasarkan pengertian terminologi (istilah), ada beberapa definisi yang diintrodusir ulama':
1. Menurut Az-Zarqani:
Artinya; Madzhab yang dianut oleh seorang imam qira'at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan al-qur'an serta kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan-pengucapan huruf-huruf ataupun pengucapan bentuk-bentuk.
2. Menurut Ibn Al-Jazari:
Artinya; ilmu yang menyangkut cara-cara mengucapkan kata-kata Al-Qur'an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan kepada penukilnya.
3. Menurut Al-Qasthalani:
"Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughah, hadzaf, I'rab, itsbat, fashl, dan washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan."
4. Menurut Az-Zarkasyi:
Artinya; Qira'at adalah perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz Al-Qur'an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara mengucapkan huruf-huruf tersebut, dan atau yang lainnya.
5. menurut Ash-Shabuni:
Artinya; Qira'at adalah suatu madzhab cara pelafalan Al-Qur'an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada Rasulullah SAW.
Perbedaan cara pendefenisian diatas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur'an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber, yaitu Muhammad. Adapun definisi yang dikemukakan Al-Qasthalani menyangkut ruang lingkup perbedaan diantara beberapa qira'at yang ada. Dengan demikian, ada tiga unsur qira'at yang dapat ditangkap dari definisi diatas, yaitu;
1. Qira'at berkaitan dengan cara pelafalan ayat-ayat Al-Qur'an yang dilakukan salah seorang imam dan berbeda dengan cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2. Cara pelafalan ayat-ayat al-qur'an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
3. Ruang lingkup perbedaan qira'at itu menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I'rab, itsbat, fashl, dan washl.

B. Latar Belakang Timbulnya Qira'at
Hal yang melatar belakangi timbulnya Qira'at ini dapat dispesifikasi menjadi 2 yaitu:
1. Latar Belakang Historis
Qira'at sebenarnya telah muncul sejak masa Nabi walaupun pada saat itu qira'at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu. Ada beberapa riwayat yang dapat mendukung asumsi ini, yaitu:
a. Suatu ketika 'Umar bin khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Al-Qur'an. 'Umar merasa tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu ia membaca surat Al-Furqan. Menurut 'Umar, bacaan Hisyam itu tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan Nabi kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan pula bahwa bacaannya pun berasal dari Nabi. Sesuai shalat, Hisyam diajak menghadap Nabi untuk melaporkan peristiwa tersebut. Kemudian Nabi menyuruh Hisyam mengulangi bacaannya sewaktu shalat tadi. Setelah Hisyam melakukannya, Nabi bersabda:
Artinya; memang begitulah al-qur'an diturunkan. Sesungguhnya al-qur'an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.

b. Didalam riwayatnya, Ubay pernah bercerita,
Aku masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan dia membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku. Setelah ia selesai, aku bertanya, "Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW." Kemudian datanglah seorang lainnya mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaanku dan bacaan orang pertama. Setelah shalatnya selesai, aku bertanya, "Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?" Ia menjawab, "Rasulullah SAW." Kedua orang itu lalu kuajak menghadap Nabi, beliau meminta salah satu dari orang itu membacakan lagi surat itu. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, "Baik." Kemudian Nabi meminta kepada yang lain melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya, "Baik." 
Sahabat-sahabat Nabi SAW terdiri dari beberapa golongan yang mempunyai lahjah (dialek) berlainan. Untuk memberikan kemudahan maka Allah SWT yang maha bijaksana, menurunkan Al-Qur'an dengan lahjah-lahjah yang biasa dipakai oleh golongan Quraisy dan yang lain (7 golongan)
Para sahabat tidak semuanya mengetahui cara membaca Al-Qur'an secara lengkap, sebagian mengambilnya dari Rasulullah SWT satu cara, dua cara, dst. Kemudian para sahabat berpencar dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga menjadi populer di daerah itu. Terjadilah perbedaan cara baca Al-Qur'an antara satu kota dengan kota yang lain. Hal ini bertambah luas setelah para tabi'in mempelajari dari para sahabat, dan tabi'it-tabi'in mempelajari dari para tabi'in. dengan demikian timbul qira'at yang mutawatir maupun yang tidak. 

2. Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada')
Menurut analisis yang disampaikan Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira'at itu bermula dari bagaimana seorang guru membacakan qira'at kepada murid-muridnya. Dan kalau diruntun, cara membaca Al-Qur'an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus 'Umar dan Hisyam, diperbolehkan oleh nabi sendiri. Hal itu mendorong beberapa ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur'an itu sebagai berikut.
a. Perbedaan dalam I'rab atau harakat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat, misalnya pada firman Allah berikut:
   •  
Artinya; "…(yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir…" (QS. An-Nisa': 37).
Kata bakhl disini dapat dibaca fathah pada huruf ba'-nya sehingga dibaca bi al-bakhli; dapat pula dibaca dhammah pada ba'-nya, sehingga menjadi bi al-bukhli.
b. Perbedaan pada I'rab dan harakat (baris) kalimat sehingga merubah maknanya, misalnya pada firman Allah berikut.
     
Artinya; "Ya Tuhan kami jauhkanlah jarak perjalanan kami." (QS. Saba'; 19)
Kata yang diterjemahkan menjadi jauhkanlah diatas adalah ba'id karena statusnya sebagai fi'il amar; boleh juga dibaca ba'ada yang berarti kedudukannya menjadi fi'il madhi sehingga artinya telah jauh.
c. Perbedaan perubahan huruf tanpa perubahan I'rab dan bentuk tulisannya, sedangkan maknanya berubah, misalnya pada firman Allah berikut;
      
Artinya; "…dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali." (QS. Al-Baqarah; 259)
Kata munsyizuha (Kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf zay (za') diganti dengan huruf ra' sehingga berubah bunyi menjadi munsyiruha, yang berarti Kami hidupkan kembali. 
d. Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah, misalnya pada firman Allah berikut;
     
Artinya; "…dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan." (QS. Al-qari'ah; 5)
Beberapa qira'at mengganti kata ka al-'ihn dengan ash-shufi sehingga kata itu yang mulanya bermakna bulu-bulu berubah menjadi bulu-bulu domba. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma' ulama tidak dibenarkan karena bertentangan dengan Mushaf 'Utsmani.
e. Perbedaan pada kalimat yang menyebabkan perubahan bentuk dan maknanya, misalnya pada ungkapan thal 'in mandhud menjadi thalhin mandud.
f. Perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirinya, misalnya pada firman Allah yang berbunyi:

    
Artinya; "Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya." (QS. Qaaf: 19)
Konon, menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi wa ja'at sakrat al-haqq bi al-maut. Ia menggeser kata al-maut ke belakang, dan memasukkan kata al-haqq. Setelah mengalami pergeseran, bila kalimat itu diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, berarti dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian. Qira'at ini juga tidak dipakai karena menyalahi ketentuan yang berlaku.
g. Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf, seperti pada firman Allah berikut:
•     
Artinya; "…surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya." (QS. Al-Baqarah: 25)
Kata min pada ayat ini dibuang dan pada ayat serupa yang tanpa min justru ditambah. 

C. Syarat-Syarat Diterimanya Qira'at
Untuk menangkal penyelewengan qira'at, para ulama menentukan 2 syarat bagi qira'at yang dapat diterima:
1. Qira'at itu harus sesuai dengan bahasa Arab.
2. Qira'at itu harus sesuai dengan salah satu Mushaf 'Utsmany, atau qira'at Ibnu 'Amir, atau qira'at Ibnu Katsir. Qira'at Ibnu 'Amir terdapat dalam Mushaf 'Utsmany yang dikirim ke Syam, sedangkan qira'at Ibnu Katsir terdapat dalam Mushaf 'Utsmany yang di kirim ke Mekkah. 

D. Madzhab Qira'at
Tentang Madzhaf qira'ah ini dapat di bedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
a. Qira'ah Sab'ah (Qira'ah tujuh). Kata sab'ah itu sendiri maksudnya adalah imam-imam qira'at yang tujuh. Mereka itu adalah:
1. 'Abdullah bin Katsir Ad-Dari (w. 120 H) dari Mekkah. Ia termasuk generasi Tabi'in. Qira'at yang Ia riwayatkan diperoleh dari "Abdullah bin Jubair dan lain-lain. Sahabat Rasulullah yang pernah di temuinya antara lain Anas bin Malik, Abu Ayyub Al-Anshari, 'Abdullah bin 'Abbas, dan Abu Hurairah.
2. Nafi' bin Abdurrahman bin Abu Na'im (w. 169 H) dari Madinah. Tokoh ini belajar qira'at pada 70 orang Tabi'in. Dan para tabi'in yang menjadi gurunya itu belajar kepada Ubay bin Ka'ab, 'Abdullah bin 'Abbas, dan Abu Hurairah.
3. 'Abdullah Al-Yashibi, terkenal dengan sebutan Abu 'Ami Ad-Dimasqi (w. 118 H) dari Syam. Ia mengambil qira'at dari Al-Mughrah bin Abu Syaibah Al-Mahzumi, dari 'Utsman bin 'Affan. Tokoh tabi'in ini sempat berjumpa dengan sahabat Rasulullah yang bernama Nu'man bin Basyir dan Wa'ilah bin Al-Asyqa'. Sebagian riwayat mengatakan bahwa 'Abdullah Al-Yahshibi sempat berjumpa dengan 'Utsman bin 'Affan secara langsung.
4. Abu 'Amar (w. 154 H) dari Bashrah. Nama lengkapnya adalah Zabban bin Al-A'la bin 'Ammar. Ia meriwayatkan qira'at dari Mujahid bin Jabr.
5. Ya'qub (w. 205 H) dari Bashrah. Nama lengkapnya adalah Ibn Ishak Al-Hadhrami. Ya'qub belajar qira'at pada Salam bin Sulaiman Ath-Thawil yang mengambil qira'at dari 'Ashim dan Abu Amar.
6. Hamzah (w. 188 H). Nama lengkapnya adalah Ibnu Habib Az-Zayyat. Hamzah belajar qira'at dari Sulaiman bin Mahram Al-A'masy, dari Yahya bin Watstsab, dari Dzar bin Hubaisy, dari 'Utsman bin 'Affan, 'Ali bin Abi Thalib dan Ibn Mas'ud.
7. 'Ashim, nama lengkapnya adalah Ibn Abi Al-Najud Al-Asadi (w. 127 H). Ia belajar qira'at kepada Dzar bin Hubaisy, dari 'Abdullah bin Mas'ud.
b. Qira'ah 'Asyirah (Qira'ah sepuluh). Yang dimaksud ialah qira'at tujuh yang telah di sebutkan diatas di tambah dengan tiga qira'at sebagai berikut:
1. Abu Ja'far, nama lengkapnya adalah Yazid bin Al-Qa'qa Al-Makhzumi Al-Madani.
2. Ya'qub, nama lengkapnya adalah Ya'qub bin Ishak bin Yazid bin 'Abdullah bin Abu Ishak Al-Hadrami Al-Bashri.
3. Khallaf bin Hasyim, nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Khalaf bin Hisyam bin Tsa'lab Al-Bazzaz Al-Baghdadi.
c. Qira'at 'Arba'at Asyrah (Qira'at empat belas). Yang dimaksud ialah qira'at sepuluh yang sudah disebutkan diatas di tambah dengan empat qira'at sebagai berikut:
1. Al-Hasan Al-Bashri. Ia merupakan salah seorang tabi'in besar yang terkenal kezahidannya.
2. Muhammad bin Abdurrahman, yang dikenal dengan nama Ibn Mahishan. Ia adalah guru Abu 'Amr.
3. Yahya' bin Al-Mubarak Al-Yazidi An-Nahwi Al-Baghdadi. Ia mengambil qira'at dari Abi 'Amr dan Hamzah.
4. Abu Al-Fajr Muhammad bin Ahmad Asy-Syanbudz. 

E. Urgensi Mempelajari Qira'at Dan Pengaruhnya Dalam Istinbat Hukum
a. Urgensi Mempelajari Qira'at
a) Menguatkan ketentuan hukum yang telah disepakati para ulama. Misalnya, berdasarkan surat An-Nisa ayat 12, para ulama sepakat bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat tersebut, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu saja. Dalam qira'at syadz, Sya'ad bin Abu Waqash memberi tambahan ungkapan mim umm sehingga ayat itu berbunyi:
           مِنْ أُمٍّ    • 
Artinya; "Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta." (QS. An-Nisa: 12)

b) Menarjih hukum yang di perselisihkan para ulama
c) Menggabungkan dua ketentuan hukum yang berbeda. Misalnya, dalam Surat Al-Baqarah ayat 222, di jelaskan bahwa seorang suami dilarang melakukan hubungan seksual tatkala istrinya sedang haid, sebelum haidnya berakhir. Sedangkan qira'at yang membacanya dengan yuththahhirna (didalam Mushaf 'Utsmani tertulis yathhurna), dapat dipahami bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual sebelum istrinya bersuci dan mandi.
d) Menunjukkan dua ketentuan hukum yang berbeda dalam kondisi berbeda pula. Misalnya, yang terdapat dalam Surat Al-Maedah ayat 6. Ada dua bacaan mengenai ayat itu, yaitu membaca arjulikum. Perbedaan qira'at ini tentu saja mengonsekuensikan kesimpulan hukum yang berbeda.
e) Dapat memberikan penjelasan terhadap suatu kata didalam Al-Qur'an yang mungkin sulit di pahami maknanya.

b. Pengaruhnya Dalam Istinbath Hukum
Perbedaan qira'at terkadang berpengaruh pula dalam menetapkan ketentuan hukum. Contoh berikut ini dapat memperlihatkan pengaruh tersebut.
                         •       
Artinya; "Mereka bertanya kepadamu tentang haid. Katakanlah, haid adalah kotoran. Oleh sebab itu, hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka di tempat yang telah di perintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri." (QS. Al-Baqarah: 222)

Berkaitan dengan ini, diantara imam qira'at yang tujuh, yaitu Abu Bakar Syu'bah, Hamzah, dan Al-Kisa'i membaca kata yathhurna dengan memberi syiddah pada hurup tha' dan ha'. Maka, bunyinya menjadi yuththahhirna. Berdasarkan perbedaan qira'at ini, para ulama fiqih berbeda pendapat, sesuai dengan banyaknya perbedaan qira'at. Ulama yang membaca yathhurna berpendapat bahwa seorang suami tidak diperkenankan berhubungan dengan istrinya yang sedang haid, kecuali bila ia telah suci atau berhenti dari keluarnya darah haid. Sementara itu, ulama yang membaca yuthhahhirna menafsirkan bahwa seorang suami tidak boleh melakukan hubungan seksual dengan istrinya, kecuali telah bersih. 
Dari contoh di atas, dapatlah diketahui bahwa qira'at Al-Qur'an sangat berpengaruh besar terhadap penentuan suatu hukum, karena ketika perbedaan qira'at terjadi, maka makna dari lafadz juga akan berbeda, sehingga sudah barang tentu dalam penentuan istinbath hukumnya juga akan terjadi perbedaan sebagaimana perbedaan qira'at itu sendiri.
 
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbedaan dialek dari berbagai suku arab, tidak lain adalah penyebab yang melatar belakangi terjadinya perbedaan qira'at Al-Qur'an. Sehingga menjadi keharusan untuk membuat syarat-syarat tentang di terimanya qira'at. Dan yang paling penting dari semua itu adalah betapa berperan pentingnya qira'at dalam penentuan istinbath hukum, karena dari perbedaan qira'at itu sendiri akan memunculkan spesifikasi baru tentang makna dari suatu ayat, sehingga esensi dari suatu ayat akan mengalami perbedaan dari lafadz aslinya.
Dan hal yang tidak kalah pentingnya dari itu semua adalah bahwa semua adalah tentang alur dari terjadinya perbedaan qira'at itu sendiri, dimana perbedaan itu bukan semata-mata dilatar-belakangi oleh perbedaan dialek saja, melainkan juga di sebabkan karena qira'at itu sendiri di ajarkan secara turun-temurun. Mulai dari Rasulullah, kemudian kepada para sahabat, kemudian kepada para tabi'in, dan selanjutnya kepada tabi'it-tabi'in.

B. Kritik Dan Saran
Demikian makalah ini kami buat, apabila ada kekurangan dan kekeliruan dalam pembahasan ini kami mohon ma'af karena hal ini adalah proses awal bagi kami. Dan dalam penulisan makalah ini kami juga mohon kritik dan sarannya, agar dalam penulisan makalah selanjutnya lebih baik lagi. Dan juga kami berterima kasih pada semua yang telah membantu dalam penulisan ini.
 
DAFTAR PUSTAKA

- DR. Rosihon Anwar, M. Ag. Ulumul Qur'an, Pustaka Setia, Bandung, 2006.
- Hasbi As Siddiqie Prof. Dr. T.M.H, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Al-Qur'an Dan Tafsir, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang, 1997.
- Muhammad bin Muhammad Abu Syakbah Prof. Dr, Pengantar Studi Al-Qur'an, Studi Press, Jakarta, 1998.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar